Di Jakarta Barat, tepatnya di Kecamatan Taman Sari terdapat sebuah kampung bernama Kampung Pecah Kulit, yang ternyata pemberian namanya juga bukan tanpa alasan. Nama ini berasal dari sebuah sejarah mengerikan yang terjadi disana saat masa penjajahan dahulu.
Biasanya nama jalan, kampung, kecamatan atau kelurahan di Indonesia umumnya diberi nama berdasarkan keadaan awal atau sejarah daerah tersebut sebelum terjadi pembangunan.
Sebut saja Rawa Buaya yang memang dahulu daerahnya berupa rawa rawa berbuaya, atau Kebon Baru yang konon dahulu disana memang kawasan perkebunan.
Sejarah Awal Kampung Pecah Kulit
Saat Belanda dengan kongsi dagangnya, VOC menduduki Indonesia, kerap terjadi diskriminasi kepada penduduk pribumi. Namun selain kepada pribumi, mereka juga melakukan perampasan pada org org Indo, peranakan antara Eropa dengan non Eropa. Satu diantaranya adalah Pieter Erberveld.
Pieter merupakan anak dari pria Jerman yang menikahi wanita jawa (sebagian sumber lain menyebut ibunya berasal dari Siam, Thailad), dan tinggal di Batavia.
Pieter saat itu dikenal cukup dekat dengan para pribumi di sekitar lingkungannya, salah satu yang dikenal bersahabat dengan Pieter adalah Raden Ateng Kartadria, ningrat asal banten dengan belasan ribu pengikut.
Suatu ketika, Pieter menjadi korban pencaplokan tanah oleh VOC. Tepatnya pada 1708, tanah milik Pieter yang berada di wilayah Pondok Bambu disita oleh VOC dengan alasan tidak memiliki surat yang sah.
Pieter sempat mencoba melawan, namun ia justru didenda oleh Gubernur Jenderal VOC saat itu, Joan Van Hoorn, akibat protesnya. Pieter dituntut membayar 3300 ikat padi kepada VOC. Akibat hal ini, Pieter Erberveld memiliki dendam pada VOC dan orang orang di dalamnya.
Pieter Erberveld dengan dendam yang belum hilang pada VOC lalu merencanakan makar bersama sahabatnya, Raden Ateng untuk menjatuhkan kongsi dagang tersebut. Rencananya, jika makar ini berhasil, Pieter akan menjadi Gubernur dan Raden Ateng menjadi patihnya.
Rencana ini disusun sedemikian rupa dan semula akan dilancarkan pada Desember 1722. Sayang, rencana ini terlebih dahulu dibocorkan oleh salah satu pembantu Pieter yang berkhianat pada tuannya. Ia mengabarkan rencana tuannya itu kepada VOC.
Bagi VOC, gabungan pasukan Pieter dan Raden Ateng tentu menjadi ancaman, sebelum makar itu berjalan, VOC segera menangkap keduanya bersama para pangikutnya. April 1722, Pieter Erberveld, Raden Ateng Kartadria dan para simpatisan mereka mendapat vonis hukuman mati.
Diantara semua orang yang dihukum, hukuman mati terhadap Pieter menjadi salah satu yang paling mengerikan dan disaksikan oleh masyarakat. Hal ini seakan bertujuan untuk mengancam para masyarakat keturunan Eropa-non eropa agar tidak menyulut api di tanah VOC.
Pieter saat itu dieksekusi dengan cara ditarik kaki dan tangannya dengan tali yang disambungkan ke kuda dari 4 arah yang berbeda. Keempat kuda itu lalu diperintahkan berlari sekencang kencangnya hingga tubuh Pieter meregengang, lalu pecahlah kulit beserta isi perutnya.
Daging dan isi perut Pieter yang berserakan lalu dibiarkan menjadi makanan burung dan hewan hewan. Tidak puas sampai disana, VOC lalu membuat sebuah monumen berisi ancaman sekaligus menancapkan tengkorak asli Pieter di atasnya. Pada monumen itu tertulis kalimat yg artinya:
“Catatan, dari peringatan [yang] menjijikan pada si jahil terhadap negara yang telah dihukum: Pieter Erberveld. Dilarang, orang mendirikan rumah, gedung, atau memasang papan kayu, demikian pula bercocok tanam, di tempat ini, sekarang sampai selama-lamanya.
Kondisi Kampung Pecah Kulit Sekarang
Kepala Pieter yang tertancap diatas monumen itu terus berada disana selama beberapa waktu sebagai bentuk peringatan sebelum akhirnya Jepang “membersihkan” monumen monumen kekejaman penjajah sebelumnya.
Kini, sisa sisa dari monumen asli Pieter Erberveld, terutama pada lempengan prasasti yang bertuliskan ancaman diatas, dipajang di luar bangunan Museum Sejarah Jakarta (museum Fatahillah) dan masih bisa dilihat sampai sekarang.
Selain itu, pada 1970, di Kampung Pecah Kulit sempat dibuat replika monumen Pieter Erberveld di lokasi asli monumen sebelumnya berada lengkap dgn replika tengkorak Pieter yg tertancap diatasnya. Namun pada 1985, monumen replika ini dipindahkan ke museum Taman Prasasti Jakarta dan masih ada sampai sekarang.
Sementara di lokasi dieksekusinya Pieter kemudian dikenal dengan nama Kampung Pecah Kulit, yang berasal dari bagaimana keadaan jasad Pieter setelah eksekusi dilakukan…